Masyeikh kita katakan :
“Wanita adalah merupakan bagian
yang penting dalam kehidupan manusia. Jumlah wanita saat ini lebih
banyak dari jumlah laki-laki, dan jumlah anak-anak lebih banyak daripada
jumlah wanita saat ini. Jika saat ini kita tidak buat usaha agama atas
kaum wanita dan anak-anak, maka kita akan kehilangan sebagian besar dari
umat ini. Suasana agama di rumah akan terbentuk apabila fikir wanita
sudah berubah menjadi fikir agama. Begitu juga anak-anak kecil akan
terdidik dengan agama sebab wanita di rumah yaitu ibunya. Madrasah
pertama bagi anak-anak ini ada di pangkuan ibunya. Jika wanita-wanita
ini tidak dididik agama, maka suasana agama tidak akan ada dalam rumah
tersebut. Bahkan anak-anak kecil pun nanti akan jauh dari kehidupan
agama. Maka penting dari kaum wanita harus mem punyai kesadaran akan
tanggung jawab agama, dan usaha atas agama. Karena itu para orang lama
hendaknya membentuk fikir istrinya untuk ikut ambil bagian dalam kerja
ini. Sampai terbentuk dalam diri mereka bahwa suami saya ini adalah da’i
Allah, pekerja agama, maka saya harus membantu dia dalam kerja ini.”
Maulana Mustaqim katakan :
“Jika Allah ingin menurunkan agama
di suatu kampung, maka Allah kirimkan Nabi. Jadi yang membawa agama ini
adalah Nabi. Dan sudah menjadi keputusan Allah bahwa semua Nabi
laki-laki, tidak ada Nabi yang wanita. Namun berapa besar hidayah yang
turun dan tersebar ini di kampung tempat Nabi berdakwah tadi, yang
dipandang Allah bukan pengorbanan Nabinya, tidak, tapi yang dipandang
Allah adalah pengorbanan istri-istri Nabi tersebut. Inilah ukuran
besarnya hidayah yang turun sebab pengorbanan istri-istri Nabi tadi.
Jadi dalam dakwah jika istri Nabi ini ikut berkorban maka tasykilan Nabi
ini akan banyak, namun jika istri tidak ikut berkorban, maka tasykilan
Nabi-nabi ini akan sedikit.”
Cinta pada Suami
Hari ini kaum wanita selalu
menyatakan cinta kepada suaminya yang mampu memberikan kehidupan yang
baik secara materi kepada keluarganya. Namun sungguh ironis kebanyakan
laki-laki yang dicintai oleh istrinya dipaksa untuk membuktikan cintanya
dengan bekerja siang malam, banting tulang, hanya untuk memenuhi
kebutuhan istri mereka. Para istri telah mengkondisikan suami-suami
mereka untuk kerja memeras keringat melebihi kemampuan mereka, hingga
sang suami tidak sempat menyiapkan akheratnya. Hari ini banyak suami
yang habis-habisan di dunia ini hanya untuk menyenangkan istrinya, namun
akhirnya ketika meninggal tidak membawa bekal yang cukup untuk
akheratnya, mati masuk neraka. Di dunia sang suami dibuat susah payah,
ke akherat mati masuk neraka, apakah ini yang namanya cinta? Bohong, itu
cinta yang palsu namanya. Itu bukanlah cinta yang sebenarnya. Cinta
seorang istri seharusnya sebuah cinta yang dibalut oleh kasih sayang
karena Allah, dan kerisauan atas kampung akherat. Jika seorang istri
mencintai suaminya, maka dia akan senantiasa mengingatkan suaminya untuk
taat kepada Allah Swt, agar ingat kampung akherat tempat mereka akan
kembali.
Peranan Istri
Kaum wanita mempunyai peran sangat
penting bagi pertumbuhan usaha dakwah. Pentingnya kedudukan mereka, dan
besarnya pengaruh mereka dalam moral dan perilaku masyarakat.
Sesungguhnya kalau seorang putri itu tumbuh besar, ia akan menjadi
seorang istri, atau ibu atau guru atau peran-peran kehidupan lainnya
yang akan ia jalankan nanti. Apabila ia baik, maka akan baik pula banyak
hal. Namun kalau ia rusak, akan rusak pula banyak hal. Oleh karena itu
para ulama yang telah lama berkecimpung dalam usaha dakwah sangat
menekankan pentingnya melibatkan wanita dan keluarganya dalam usaha
dakwah ini. Sehingga ketika sedang lemah dalam amal, maka istrinyalah
yang berperan untuk mendorong suami agar tetap menjaga iman dan amal
sholeh. Inilah sebabnya pentingnya suami atau pun istri, laki-laki atau
pun perempuan, senantiasa membuat usaha yang dapat menjaga keimanan
dirinya dan keluarganya :
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras,
dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim: 6)
Tugas Dakwah tidak hanya untuk kaum laki-laki
Untuk hal di atas, kita semua kaum
muslimin, baik laki-laki maupun perempuan, perlu memperhatikan tugas
atau kerja yang dapat meningkatkan iman dan amal sholeh di lingkungan
kaum muslimin dan keluarganya. Dan kerja ini perlu saling
bantu-membantu, apalagi di dalam satu keluarga. Allah swt menjelaskan
dengan tegas tentang hal itu, dan para shahabiyyah RA telah menunjukkan
hal-hal itu dengan baik, seperti Siti Khadijah RA, Siti Fathimah RA,
Siti Aisyah RA, dan masih banyak lagi.
“Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh
Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS
At-Taubah: 71)
Sehingga dengan jelas bahwa usaha
masturah (wanita) adalah bagian penting dalam kerja dakwah. Seorang
Istri akan selalu menjaga usaha dakwah dirumah dan senantiasa menudukung
kerja dakwah yang dilakukan oleh suaminya. Bahkan usaha masturah dapat
memberikan pengaruh yang sangat kuat untuk melahirkan generasi pejuang
agama Allah, para da’i masa depan. Sehingga seorang bapak dapat
mendorong kepada anaknya sebagai da’i, seperti mana ucapan Lukman kepada
anaknya.
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah).” (QS Lukman: 31)
Dan usaha dakwah merupakan
tanggung jawab kita semua, termasuk anak-anak kita sendiri. Untuk itu
marilah kita mantapkan untuk mendorong suami dan juga anak-anak terlibat
dalam usaha dakwah ini. Di dalam Al Quran, Allah Swt sudah menjelaskan 8
simpul atau tali yang dapat menghalangi suami dari memperjuangkan
agama, dan pergi di jalan Allah. Jika kita terjerat oleh salah satu
simpul tersebut maka Allah Swt tidak akan memberikan petunjuk kepada
kita. Apa saja simpul itu :
Allah swt berfirman :
“Katakanlah : Jika Bapak-bapakmu,
anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta
kekayaanmu yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiaannya, rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih
kamu cintai dari pada Allah dan rasulNya dan dari berjihad di jalanNya,
maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya. Dan Allah tidak
akan memberi petunujuk kepada orang-orang yang fasik.” (9 : 24)
Jika kita terhambat untuk pergi di
jalan Allah dikarenakan 8 simpul ini, maka mengancam mereka dengan
keputusanNya. Sedangkan Allah tidak akan memberi pertunjuk kepada orang
yang fasik. Oleh karena itu ibu-ibu harus mampu memndorong
suami-suaminya untuk berjuang di jalan Allah, janganlah kita menjadi
penghalang-penghalang suami kita yang akan berjuag di jalan Allah.
Sesungguhnya banyak sekali pelajaran dan manfaat yang dapat diambil dari
kerja dakwah ini. Begitu pula bagi istri yang ditinggalkan.
Manfaat Pelajaran Keimanan Bila istri ditinggal Suami Fii Sabilillah :
Istri dan anak-anak ini mempunyai
kecenderungan untuk bergantung kepada suami dan ayahnya sebagai kepala
rumah tangga. Sedangkan dalam masalah tauhid, bergantung kepada selain
Allah ini adalah haram hukumnya. Apa jadinya jika anak istri kita mati
membawa keyakinan yang salah yaitu bergantung bukan kepada Allah tetapi
kepada selain Allah yaitu suami atau ayah dari anak-anaknya.
Logikanya :
Bila seorang suami atau seorang
ayah pergi di jalan Allah maka insya Allah ini akan menjadi sarana
tarbiyah atau pendidikan keimanan bagi keluarga. Dengan ditinggalnya
istri dan anak di jalan Allah, ini merupakan kesempatan bagi mereka
untuk melatih diri mereka menyelesaikan masalah dengan amal-amal agama
selama ditinggal sang suami atau sang ayah. Mereka akan belajar
membenarkan tempat bergantung mereka, makhluk, atau ayah, atau suami
mereka, menjadi bergantung hanya kepada Allah. Inilah yang harus
dipersiapkan seorang suami dan seorang ayah sebelum meninggalkan
keluarga mereka. Jadi, pergi di jalan Allah ini bukan hanya sarana
perbaikan iman bagi orang yang pergi di jalan Allah, tetapi juga sarana
tarbiyah keimanan untuk keluarga. Sehingga kita pun yang mempunyai
kecenderungan pemikiran, “kalau ada saya maka akan beres”, ini bisa
dihilangkan. Padahal pemikiran “kalau ada saya maka akan beres” dalam
ilmu tauhid ini merupakan syirik. Untuk bisa menghilangkan ini, perlu
seorang suami pergi di jalan Allah. Belajar menemukan hakekat Tawakkal,
berserah diri kepada Allah. Dan lagi, semua pahala dari amalan yang
dilakukan suaminya atau ayahnya ketika keluar di jalan Allah akan
mengalir kepada keluarga yang ditinggalkan.
Kesalahfahaman I :
Hari ini banyak orang
mempertanyakan tentang kebutuhan batiniah seorang istri. Padahal maksud
dari kebutuhan batiniyah ini adalah kebutuhan bekal agama bukan
kebutuhan seksual. Sekarang, mana yang lebih penting, kebutuhan seksual
untuk istri dan perhatian materi seorang ayah, atau kebutuhan agama
untuk keluarga? Tentu jawabnya nafkah batiniah lebih penting, yaitu
bekal agama buat keluarga. Seorang suami dan ayah ini akan dimintai
pertanggungjawaban mengenai bekal agama bagi keluarganya oleh Allah
Ta’ala sebagai pemimpin keluarga, dan ini merupakan salah satu solusi
untuk mempersiapkan bekal kehidupan bagi keluarga kita. Selain itu,
secara fiqh, hubungan seksual adalah hak suami dan kewajiban istri.
Bukan kewajiban suami.
Kesalahfahaman II :
Belajar dari Nabi Ibrahim AS :
Ketika seorang ayah atau suami
pergi di jalan Allah, kebanyakan hari ini mereka sudah dicap sebagai
orang yang menelantarkan keluarga. Padahal kalau kita lihat perjalanan
Nabi Nabi Ibrahim AS yang meninggalkan anak dan istrinya tanpa bekal di
padang pasir atas perintah Allah, apakah itu termasuk menelantarkan
keluarga? Apakah Nabi Ibrahim AS zhalim kepada keluarganya? Apakah Allah
zhalim memerintahkan Nabi Ibrahim AS meninggalkan keluarganya di padang
pasir? Tentu tidak. Semuanya itu dilakukan atas perintah Allah, dan
dibalik perintah Allah pasti ada kejayaan dan kesuksesan. Perginya suami
atau seorang ayah ini di jalan Allah ini pun demi menjalankan perintah
Allah yaitu Dakwah Ilallah, mengajak manusia taat kepada Allah.
Sebab menjalankan perintah Allah
ini keyakinan Nabi Ibrahim AS beserta anak dan istrinya terperbaiki
bahwa Allahlah yang memelihara mereka. Sang istri pun, sebab demikian
menjadi semakin yakin bahwa Allahlah yang memelihara mereka di padang
pasir. Di padang Pasir yang kering kerontang dia bertanya kepada sang
suami ketika Nabi Ibrahim AS hendak meninggalkan mereka di padang pasir,
“Apakah ini perintah Allah?” Nabi Ibrahim AS hanya menganggukkan
kepalanya, dan Siti Hajar AS langsung meyakininya bahwa Allah tidak akan
mungkin menterlantarkan mereka. Di padang pasir yang tidak ada apa-apa
dan tidak ada suami yang menolong, di situlah Siti Hajar AS mendapatkan
keyakinan yang benar kepada Allah Ta’ala. Bagaimana dengan keyakinan
Nabi Ismail AS, sebab pendidikan agama yang diterima dari ibunya, maka
Nabi Ismail pun mempunyai keyakinan yang lurus kepada Allah SWT.
Bagaimana keyakinan Nabi Ismail AS yang terbentuk melalui tarbiyah
Allah, ketika Allah meminta ayahnya meninggalkannya di padang pasir dan
didikan ibunya selama pertumbuhannya tanpa seorang ayah. Ketika Nabi
Ismail AS mengetahui bahwa ayahnya mendapatkan perintah dari Allah
Ta’ala untuk menyembelih dirinya, maka Nabi Ismail AS yang masih kecil
ini tetap menerimanya dengan ikhlas.
Belajar dari Nabi Musa AS :
Begitu pula dalam perjalanan kisah
Nabi Nabi Musa AS. Suatu ketika istri Nabi Musa AS sedang sakit dan
kedinginan, Nabi Musa AS yang biasa menyalakan api dengan kayu agar
dapat memberikan kehangatan buat istrinya, kali ini apinya tidak
menyala. Lalu Allah nampakkan kepada Nabi Musa AS api yang menyala dari
bukit Thursina. Demi istrinya, Nabi Musa AS, sama seperti kita rela
bersusah-susah pergi jauh-jauh untuk mencarikan obat buat istrinya yang
sedang kedinginan. Ketika sampai di bukit Thur, api yang dilihatnya
ternyata tidak ada. Di sini Nabi Musa AS hendak ditarbiyah oleh Allah
Ta’ala, bahwa tidak perlu api untuk menghangatkan, atau makanan untuk
mengenyangkan, atau air untuk menghilangkan haus, karena semua itu
manfaat dan mudharatnya atas izin dari Allah. Itulah yang Allah Ta’ala
ajarkan kepada Nabi Musa AS ketika tongkatnya menjadi ular lalu menjadi
tongkat kembali atas perintah dari Allah Ta’ala. Memang secara logika
manusia, perintah Allah tidak masuk diakal, ini karena Allah sembunyikan
qudratNya dibalik perintahNya. Namun untuk menyempurnakan Iman dan
Yakin ini perlu pengorbanan dengan jiwa dan harta. Maka walaupun Nabi
Musa AS masih dalam keadaan belum sempurna keyakinannya, Allah tetap
perintahkan Nabi Musa AS untuk pergi Dakwah kepada Firaun. Siapa itu
Firaun yaitu Ahli Dunia yang mengaku sebagai Tuhan karena merasa mampu
melakukan segala-galanya.
Disitu Nabi Musa AS harus membuat
keputusan, antara menemani istri yang sedang sakit dan kedinginan, atau
menunaikan perintah Allah. Istri jelas-jelas sedang sakit, tetapi Allah
malah menyuruh Nabi Musa AS untuk meninggalkan istrinya pergi di jalan
Allah. Perintah Allah ini sangat bertentangan dengan keinginan Nabi Musa
AS ketika itu. Ada masalah tetapi malah disuruh pergi di jalan Allah.
Nabi Musa AS bertanya kepada Allah bagaimana dengan istrinya lalu Allah
perintahkan Nabi Musa AS untuk memukul batu dengan kayunya. Setalah tiga
kali memukul hingga batu itu pecah menjadi batu yang lebih kecil
didapati oleh Nabi Musa AS, seekor ulat yang sedang memuji Allah karena
Allah tidak melupakan rizkinya. Ulat dalam batu pun masih dalam
pemeliharaan Allah. Lalu Nabi Musa berkata bahwa Firaun mempunyai bala
pasukan yang banyak, dan ia meminta Harun diangkat sebagai Nabi sebagai
teman yang membantunya. Allah berkata mahfum kepada Nabi Musa AS untuk
tidak takut karena “Aku bersama Engkau”. Namun karena Nabi Musa AS
memberikan alasan agar Harun AS dapat membantunya dalam menyampaikan
dakwah kepada Firaun, akhirnya do’a Nabi Musa AS ini diterima. Walaupun
dalam kondisi yang sangat sulit, Nabi Musa AS nafikan keinginannya dan
memutuskan untuk ikuti perintah Allah, keluar ke negeri jauh. Tidak ada
musyawarah dengan istri, bahkan ia meninggalkan istri dalam keadaan
sakit. Jadi apa yang dikorbankan Nabi Musa ketika itu, ada 3 perkara :
Mal atau Harta : Berupa domba-dombanya dan tempat tinggalnya
Hal atau Keadaan : Tanggung jawab kepada istri yang sedang sakit
Al atau Keluarga : Istri yang dicintai
Inilah Pengorbanan Nabi Musa AS
demi perintah Allah, dia nafikan keadaannya dan hanya membenarkan
perintah Allah. Hari ini kita logikan perintah Allah, sehingga kita
mudah mengikuti Nafsu kita. Dikira kita ini yang menghidupkan dan
memberi makan istri dan anak. Kita sering berkata : “Jaga anak dan istri
kan perintah juga, nanti kalau sudah siap baru saya berangkat”. Siapnya
kita ini adalah menurut Nafsu beda dengan siapnya Nabi Musa AS. Ini
karena kita belum mengambil keputusan, sehingga perintah Allah ini belum
bisa kita kerjakan secara sempurna.
Belajar dari Sahabat RA
Begitu juga pendidikan yang
diterima oleh para Sahabat RA. Bagaimana Sahabat Abu Bakar RA tidak
meninggalkan harta sedikit pun untuk keluarga ketika pergi di jalan
Allah. Semua sahabat ketika takaza jihad atau dakwah dating, maka mereka
meninggalkan semua perkara yang mereka cintai untuk memenuhi panggilan
agama. Sehingga kita menemukan banyak makam sahabat di luar negeri
seperti Sahabat Abi Waqqash RA di China, Sahabat Abu Ayub Al Anshari di
Turki, dll. Kalau sahabat hanya memikirkan keluarga saja maka Islam
tidak akan mungkin tersebar keseluruh dunia, dan kita mungkin masih
menjadi penyembah berhala. Hari ini banyak orang yang marah sebab
melihat mereka yang pergi meninggalkan keluarga untuk pergi di jalan
Allah. Sedangkan hari ini kalau kita bicarakan orang yang meninggalkan
anak istrinya demi kepentingan dunia tidak ada yang ambil pusing atau
protes. Tetapi orang yang meninggalkan anak istrinya demi perbaikan
agamanya banyak yang protes dan tidak terima.
Berapa banyak hari ini perempuan (
bukan laki-laki ) yang meninggalkan keluarganya untuk kerja di luar
negeri? apa ada yang protes? berapa banyak keluarga yang ditinggal
ayahnya atau suaminya ke luar negeri karena dinas atau belajar di
universitas mengambil gelarnya? apakah ada yang tidak terima? padahal
ini semua hanya demi kepentingan dunia saja. Sedangkan ketika di jalan
Allah ini yang jamaah kerjakan adalah demi kepentingan agama, akherat,
ummat, dan keluarganya. Dan lagi, segala hak atas keluarga dan
kewajiban-kewajiban yang lainnya akan gugur jika dihadapkan dengan
kepentingan Jihad buat agama atau pun buat mencari ilmu tatkala kondisi
demikian menuntut. Ini karena Jihad dan menuntut ilmu ini lebih tinggi
prioritasnya dibanding amal-amal lain. Seperti Nabi SAW dan para Sahabat
RA yang meninggalkan keluarga mereka demi membela agama. Jadi Jihad ini
harus didahulukan di atas segala kewajiban kecuali shalat. Hak istri,
hak anak, hak bertetangga, semuanya gugur jika takaza (pembentangan
kepentingan menyelamatkan agama) sudah ditawarkan. Jadi Jihad lebih
utama dibanding amal-amal lain menurut kondisi atau keadaan-keadaan
tertentu.
Kesalahfahaman III :
Banyak orang berkata, kalau mau
jihad, memberi nafkah fakir miskin juga jihad, mencari uang untuk
menafkahai keluarga juga jihad, membela hukum Islam juga jihad, membela
yang orang yang dizhalimi juga jihad, kenapa harus susah-susah pergi di
jalan Allah? Inilah anggapan mereka yang kurang pengetahuannya. Dalam
ilmu agama, setiap keadaan itu ada amal-amal yang didahulukan atau
diprioritaskan. Tidak mungkin ketika orang sedang berperang, ummat
sedang terancam, kita lebih memilih duduk saja dirumah dan berdzikir
dengan mengatakan dzikir itu jihad juga, lalu meninggalkan jihad membela
agama Allah, ini namanya kebodohan. Dalam keadaan sekarang ketika
kemaksiatan sudah merajalela dan penentangan terhadap perintah Allah
sudah dilakukan secara terang-terangan, maka dengan adanya gerakan untuk
keluar di jalan Allah dalam rangka memperbaiki diri dan menyampaikan
agama, maka jihad yang seperti ini lebih tepat. Jihad yang seperti apa
maksudnya? yaitu dengan harta dan diri meluangkan waktu untuk pergi di
jalan Allah.
Nasehat dari orang tua dalam kerja dakwah ini :
“ Hari ini manusia sibuk membuat
usaha yang tidak akan ditanya oleh Allah di pengadilan akherat nanti,
yaitu perkara rizki, dan melupakan perkara yang pasti akan ditanya oleh
Allah yaitu agama. Sebab ketidakpahaman kita hari ini, kita berani
menjawab bahwa mencari rizki itu wajib dan memperjuangkan agama itu
tidak wajib. Cari rizki itu wajib hukumnya. Betul itu, tetapi ini hanya
keperluan, bukan sebagai maksud. Allah mengirim kita ke dunia ini bukan
untuk berdagang, bertani, bermewah-mewahan, bersaing dalam teknologi,
tetapi kita dikirim untuk Ibadah kepada Allah, menyempurnakan kehendak
Allah atas diri kita di dunia ini. Mewujudkan agama dalam diri kita dan
menyampaikan agama pada setiap orang di seluruh alam, inilah maksud
Allah kirim kita kemuka bumi. Shalat itu wajib dan wudhu itu juga wajib,
tetapi wudhu itu adalah untuk shalat. Apa yang terjadi jika orang
maunya wudhu saja karena wajib, sehingga tidak shalat-shalat. Sudah
mubazir airnya, dan Allah akan marah karena telah melupakan maksud yaitu
shalat. Kita boleh berdagang, bertani, dan lain-lain, tetapi ini hanya
keperluan saja, jangan sampai menjadi maksud. Kita pergi haji bukan
untuk tidur-tiduran saja, tidur itu hanya keperluan, jangan sampai kita
datang ke Makkah hanya untuk tidur saja tetapi melupakan maksudnya yaitu
naik haji. Sahabat Ali Karamallah Wajhahu berkata kalau manusia itu
fikirnya hanya memikirkan apa yang akan masuk ke dalam perutnya, maka
derajatnya disisi Allah sama dengan apa yang dikeluarkan dari perutnya.
Beginilah hasilnya jika manusia tidak diperjuangkan yaitu mereka akan
menjadi rendah dan hina. Derajatnya di sisi Allah seperti apa yang
dikeluarkan perutnya yaitu kotoran, tidak ada nilai, rendah, bahkan
tidak pantas untuk dilihat atau dipandangi.”
Namun dalam rangka mempersiapkan
istri kita dalam perjuangan agama, maka diperluakan beberapa kesiapan
bagi istri agar dapat berjuang dengan benar. Satu hal yang harus
dipahami oleh kaum wanita bahwa medan kerja mereka adalah di rumah-rumah
mereka. Atas perkara ini fokus kita adalah mengupas dari pada kerja
wanita di rumah dan apa yang membedakan mereka dengan wanita kafir bila
keluar rumah.
Kisah Seorang wanita yang taat kepada suaminya
Ada seorang wanita bersuami, yang
pada suatu hari mendengar kabar bahwa sang ayah sedang didera penyakit
keras. Sang istri memohon kepada suaminya, agar bisa pergi mengunjungi
sang ayah, namun tak juga mendapat ijin. Ketika sakit sang ayah semakin
parah, namun sang istri belum juga mendapat ijin menengok, maka pergilah
si wanita bertanya kepada Rasulullah SAW. Namun ternyata, berpegang
pada pesan suami bahwasanya istrinya tidak boleh menengok sang ayah,
Rasulullah SAW- pun tidak memperbolehkannya.
Akhirnya si wanita mendengar kabar
bahwa bapaknya telah meninggal dunia, dan dia meminta ijin suaminya
untuk bisa menghadiri majelis shalat jenazah dan pemakaman sang ayah.
Lagi-lagi sang suami tidak mengijinkan. Si wanita pun kembali bertanya
kepada Rasulullah SAW. Rasulullah menjawab :” Ukhti tak boleh keluar
rumah, selagi tidak mendapat ijin dari suami.”
Keesokan harinya, Rasulullah SAW
datang menyampaikan pesan kepada wanita itu, bahwasanya Allah SWT telah
mengampuni dosanya dan dosa bapaknya, atas ketaatannya kepada sang
suami.
No comments:
Post a Comment