Wednesday, April 15, 2020

Bayan Masturat

Masyeikh kita katakan :
“Wanita adalah merupakan bagian yang penting dalam kehidupan manusia. Jumlah wanita saat ini lebih banyak dari jumlah laki-laki, dan jumlah anak-anak lebih banyak daripada jumlah wanita saat ini. Jika saat ini kita tidak buat usaha agama atas kaum wanita dan anak-anak, maka kita akan kehilangan sebagian besar dari umat ini. Suasana agama di rumah akan terbentuk apabila fikir wanita sudah berubah menjadi fikir agama. Begitu juga anak-anak kecil akan terdidik dengan agama sebab wanita di rumah yaitu ibunya. Madrasah pertama bagi anak-anak ini ada di pangkuan ibunya. Jika wanita-wanita ini tidak dididik agama, maka suasana agama tidak akan ada dalam rumah tersebut. Bahkan anak-anak kecil pun nanti akan jauh dari kehidupan agama. Maka penting dari kaum wanita harus mem punyai kesadaran akan tanggung jawab agama, dan usaha atas agama. Karena itu para orang lama hendaknya membentuk fikir istrinya untuk ikut ambil bagian dalam kerja ini. Sampai terbentuk dalam diri mereka bahwa suami saya ini adalah da’i Allah, pekerja agama, maka saya harus membantu dia dalam kerja ini.”
Maulana Mustaqim katakan :
“Jika Allah ingin menurunkan agama di suatu kampung, maka Allah kirimkan Nabi. Jadi yang membawa agama ini adalah Nabi. Dan sudah menjadi keputusan Allah bahwa semua Nabi laki-laki, tidak ada Nabi yang wanita. Namun berapa besar hidayah yang turun dan tersebar ini di kampung tempat Nabi berdakwah tadi, yang dipandang Allah bukan pengorbanan Nabinya, tidak, tapi yang dipandang Allah adalah pengorbanan istri-istri Nabi tersebut. Inilah ukuran besarnya hidayah yang turun sebab pengorbanan istri-istri Nabi tadi. Jadi dalam dakwah jika istri Nabi ini ikut berkorban maka tasykilan Nabi ini akan banyak, namun jika istri tidak ikut berkorban, maka tasykilan Nabi-nabi ini akan sedikit.”
Cinta pada Suami
Hari ini kaum wanita selalu menyatakan cinta kepada suaminya yang mampu memberikan kehidupan yang baik secara materi kepada keluarganya. Namun sungguh ironis kebanyakan laki-laki yang dicintai oleh istrinya dipaksa untuk membuktikan cintanya dengan bekerja siang malam, banting tulang, hanya untuk memenuhi kebutuhan istri mereka. Para istri telah mengkondisikan suami-suami mereka untuk kerja memeras keringat melebihi kemampuan mereka, hingga sang suami tidak sempat menyiapkan akheratnya. Hari ini banyak suami yang habis-habisan di dunia ini hanya untuk menyenangkan istrinya, namun akhirnya ketika meninggal tidak membawa bekal yang cukup untuk akheratnya, mati masuk neraka. Di dunia sang suami dibuat susah payah, ke akherat mati masuk neraka, apakah ini yang namanya cinta? Bohong, itu cinta yang palsu namanya. Itu bukanlah cinta yang sebenarnya. Cinta seorang istri seharusnya sebuah cinta yang dibalut oleh kasih sayang karena Allah, dan kerisauan atas kampung akherat. Jika seorang istri mencintai suaminya, maka dia akan senantiasa mengingatkan suaminya untuk taat kepada Allah Swt, agar ingat kampung akherat tempat mereka akan kembali.
Peranan Istri
Kaum wanita mempunyai peran sangat penting bagi pertumbuhan usaha dakwah. Pentingnya kedudukan mereka, dan besarnya pengaruh mereka dalam moral dan perilaku masyarakat. Sesungguhnya kalau seorang putri itu tumbuh besar, ia akan menjadi seorang istri, atau ibu atau guru atau peran-peran kehidupan lainnya yang akan ia jalankan nanti. Apabila ia baik, maka akan baik pula banyak hal. Namun kalau ia rusak, akan rusak pula banyak hal. Oleh karena itu para ulama yang telah lama berkecimpung dalam usaha dakwah sangat menekankan pentingnya melibatkan wanita dan keluarganya dalam usaha dakwah ini. Sehingga ketika sedang lemah dalam amal, maka istrinyalah yang berperan untuk mendorong suami agar tetap menjaga iman dan amal sholeh. Inilah sebabnya pentingnya suami atau pun istri, laki-laki atau pun perempuan, senantiasa membuat usaha yang dapat menjaga keimanan dirinya dan keluarganya :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim: 6)
Tugas Dakwah tidak hanya untuk kaum laki-laki
Untuk hal di atas, kita semua kaum muslimin, baik laki-laki maupun perempuan, perlu memperhatikan tugas atau kerja yang dapat meningkatkan iman dan amal sholeh di lingkungan kaum muslimin dan keluarganya. Dan kerja ini perlu saling bantu-membantu, apalagi di dalam satu keluarga. Allah swt menjelaskan dengan tegas tentang hal itu, dan para shahabiyyah RA telah menunjukkan hal-hal itu dengan baik, seperti Siti Khadijah RA, Siti Fathimah RA, Siti Aisyah RA, dan masih banyak lagi.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah: 71)
Sehingga dengan jelas bahwa usaha masturah (wanita) adalah bagian penting dalam kerja dakwah. Seorang Istri akan selalu menjaga usaha dakwah dirumah dan senantiasa menudukung kerja dakwah yang dilakukan oleh suaminya. Bahkan usaha masturah dapat memberikan pengaruh yang sangat kuat untuk melahirkan generasi pejuang agama Allah, para da’i masa depan. Sehingga seorang bapak dapat mendorong kepada anaknya sebagai da’i, seperti mana ucapan Lukman kepada anaknya.
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS Lukman: 31)
Dan usaha dakwah merupakan tanggung jawab kita semua, termasuk anak-anak kita sendiri. Untuk itu marilah kita mantapkan untuk mendorong suami dan juga anak-anak terlibat dalam usaha dakwah ini. Di dalam Al Quran, Allah Swt sudah menjelaskan 8 simpul atau tali yang dapat menghalangi suami dari memperjuangkan agama, dan pergi di jalan Allah. Jika kita terjerat oleh salah satu simpul tersebut maka Allah Swt tidak akan memberikan petunjuk kepada kita. Apa saja simpul itu :
Allah swt berfirman :
“Katakanlah : Jika Bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaanmu yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiaannya, rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan rasulNya dan dari berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya. Dan Allah tidak akan memberi petunujuk kepada orang-orang yang fasik.” (9 : 24)
Jika kita terhambat untuk pergi di jalan Allah dikarenakan 8 simpul ini, maka mengancam mereka dengan keputusanNya. Sedangkan Allah tidak akan memberi pertunjuk kepada orang yang fasik. Oleh karena itu ibu-ibu harus mampu memndorong suami-suaminya untuk berjuang di jalan Allah, janganlah kita menjadi penghalang-penghalang suami kita yang akan berjuag di jalan Allah. Sesungguhnya banyak sekali pelajaran dan manfaat yang dapat diambil dari kerja dakwah ini. Begitu pula bagi istri yang ditinggalkan.
Manfaat Pelajaran Keimanan Bila istri ditinggal Suami Fii Sabilillah :
Istri dan anak-anak ini mempunyai kecenderungan untuk bergantung kepada suami dan ayahnya sebagai kepala rumah tangga. Sedangkan dalam masalah tauhid, bergantung kepada selain Allah ini adalah haram hukumnya. Apa jadinya jika anak istri kita mati membawa keyakinan yang salah yaitu bergantung bukan kepada Allah tetapi kepada selain Allah yaitu suami atau ayah dari anak-anaknya.
Logikanya :
Bila seorang suami atau seorang ayah pergi di jalan Allah maka insya Allah ini akan menjadi sarana tarbiyah atau pendidikan keimanan bagi keluarga. Dengan ditinggalnya istri dan anak di jalan Allah, ini merupakan kesempatan bagi mereka untuk melatih diri mereka menyelesaikan masalah dengan amal-amal agama selama ditinggal sang suami atau sang ayah. Mereka akan belajar membenarkan tempat bergantung mereka, makhluk, atau ayah, atau suami mereka, menjadi bergantung hanya kepada Allah. Inilah yang harus dipersiapkan seorang suami dan seorang ayah sebelum meninggalkan keluarga mereka. Jadi, pergi di jalan Allah ini bukan hanya sarana perbaikan iman bagi orang yang pergi di jalan Allah, tetapi juga sarana tarbiyah keimanan untuk keluarga. Sehingga kita pun yang mempunyai kecenderungan pemikiran, “kalau ada saya maka akan beres”, ini bisa dihilangkan. Padahal pemikiran “kalau ada saya maka akan beres” dalam ilmu tauhid ini merupakan syirik. Untuk bisa menghilangkan ini, perlu seorang suami pergi di jalan Allah. Belajar menemukan hakekat Tawakkal, berserah diri kepada Allah. Dan lagi, semua pahala dari amalan yang dilakukan suaminya atau ayahnya ketika keluar di jalan Allah akan mengalir kepada keluarga yang ditinggalkan.
Kesalahfahaman I :
Hari ini banyak orang mempertanyakan tentang kebutuhan batiniah seorang istri. Padahal maksud dari kebutuhan batiniyah ini adalah kebutuhan bekal agama bukan kebutuhan seksual. Sekarang, mana yang lebih penting, kebutuhan seksual untuk istri dan perhatian materi seorang ayah, atau kebutuhan agama untuk keluarga? Tentu jawabnya nafkah batiniah lebih penting, yaitu bekal agama buat keluarga. Seorang suami dan ayah ini akan dimintai pertanggungjawaban mengenai bekal agama bagi keluarganya oleh Allah Ta’ala sebagai pemimpin keluarga, dan ini merupakan salah satu solusi untuk mempersiapkan bekal kehidupan bagi keluarga kita. Selain itu, secara fiqh, hubungan seksual adalah hak suami dan kewajiban istri. Bukan kewajiban suami.
Kesalahfahaman II :
Belajar dari Nabi Ibrahim AS :
Ketika seorang ayah atau suami pergi di jalan Allah, kebanyakan hari ini mereka sudah dicap sebagai orang yang menelantarkan keluarga. Padahal kalau kita lihat perjalanan Nabi Nabi Ibrahim AS yang meninggalkan anak dan istrinya tanpa bekal di padang pasir atas perintah Allah, apakah itu termasuk menelantarkan keluarga? Apakah Nabi Ibrahim AS zhalim kepada keluarganya? Apakah Allah zhalim memerintahkan Nabi Ibrahim AS meninggalkan keluarganya di padang pasir? Tentu tidak. Semuanya itu dilakukan atas perintah Allah, dan dibalik perintah Allah pasti ada kejayaan dan kesuksesan. Perginya suami atau seorang ayah ini di jalan Allah ini pun demi menjalankan perintah Allah yaitu Dakwah Ilallah, mengajak manusia taat kepada Allah.
Sebab menjalankan perintah Allah ini keyakinan Nabi Ibrahim AS beserta anak dan istrinya terperbaiki bahwa Allahlah yang memelihara mereka. Sang istri pun, sebab demikian menjadi semakin yakin bahwa Allahlah yang memelihara mereka di padang pasir. Di padang Pasir yang kering kerontang dia bertanya kepada sang suami ketika Nabi Ibrahim AS hendak meninggalkan mereka di padang pasir, “Apakah ini perintah Allah?” Nabi Ibrahim AS hanya menganggukkan kepalanya, dan Siti Hajar AS langsung meyakininya bahwa Allah tidak akan mungkin menterlantarkan mereka. Di padang pasir yang tidak ada apa-apa dan tidak ada suami yang menolong, di situlah Siti Hajar AS mendapatkan keyakinan yang benar kepada Allah Ta’ala. Bagaimana dengan keyakinan Nabi Ismail AS, sebab pendidikan agama yang diterima dari ibunya, maka Nabi Ismail pun mempunyai keyakinan yang lurus kepada Allah SWT. Bagaimana keyakinan Nabi Ismail AS yang terbentuk melalui tarbiyah Allah, ketika Allah meminta ayahnya meninggalkannya di padang pasir dan didikan ibunya selama pertumbuhannya tanpa seorang ayah. Ketika Nabi Ismail AS mengetahui bahwa ayahnya mendapatkan perintah dari Allah Ta’ala untuk menyembelih dirinya, maka Nabi Ismail AS yang masih kecil ini tetap menerimanya dengan ikhlas.
Belajar dari Nabi Musa AS :
Begitu pula dalam perjalanan kisah Nabi Nabi Musa AS. Suatu ketika istri Nabi Musa AS sedang sakit dan kedinginan, Nabi Musa AS yang biasa menyalakan api dengan kayu agar dapat memberikan kehangatan buat istrinya, kali ini apinya tidak menyala. Lalu Allah nampakkan kepada Nabi Musa AS api yang menyala dari bukit Thursina. Demi istrinya, Nabi Musa AS, sama seperti kita rela bersusah-susah pergi jauh-jauh untuk mencarikan obat buat istrinya yang sedang kedinginan. Ketika sampai di bukit Thur, api yang dilihatnya ternyata tidak ada. Di sini Nabi Musa AS hendak ditarbiyah oleh Allah Ta’ala, bahwa tidak perlu api untuk menghangatkan, atau makanan untuk mengenyangkan, atau air untuk menghilangkan haus, karena semua itu manfaat dan mudharatnya atas izin dari Allah. Itulah yang Allah Ta’ala ajarkan kepada Nabi Musa AS ketika tongkatnya menjadi ular lalu menjadi tongkat kembali atas perintah dari Allah Ta’ala. Memang secara logika manusia, perintah Allah tidak masuk diakal, ini karena Allah sembunyikan qudratNya dibalik perintahNya. Namun untuk menyempurnakan Iman dan Yakin ini perlu pengorbanan dengan jiwa dan harta. Maka walaupun Nabi Musa AS masih dalam keadaan belum sempurna keyakinannya, Allah tetap perintahkan Nabi Musa AS untuk pergi Dakwah kepada Firaun. Siapa itu Firaun yaitu Ahli Dunia yang mengaku sebagai Tuhan karena merasa mampu melakukan segala-galanya.
Disitu Nabi Musa AS harus membuat keputusan, antara menemani istri yang sedang sakit dan kedinginan, atau menunaikan perintah Allah. Istri jelas-jelas sedang sakit, tetapi Allah malah menyuruh Nabi Musa AS untuk meninggalkan istrinya pergi di jalan Allah. Perintah Allah ini sangat bertentangan dengan keinginan Nabi Musa AS ketika itu. Ada masalah tetapi malah disuruh pergi di jalan Allah. Nabi Musa AS bertanya kepada Allah bagaimana dengan istrinya lalu Allah perintahkan Nabi Musa AS untuk memukul batu dengan kayunya. Setalah tiga kali memukul hingga batu itu pecah menjadi batu yang lebih kecil didapati oleh Nabi Musa AS, seekor ulat yang sedang memuji Allah karena Allah tidak melupakan rizkinya. Ulat dalam batu pun masih dalam pemeliharaan Allah. Lalu Nabi Musa berkata bahwa Firaun mempunyai bala pasukan yang banyak, dan ia meminta Harun diangkat sebagai Nabi sebagai teman yang membantunya. Allah berkata mahfum kepada Nabi Musa AS untuk tidak takut karena “Aku bersama Engkau”. Namun karena Nabi Musa AS memberikan alasan agar Harun AS dapat membantunya dalam menyampaikan dakwah kepada Firaun, akhirnya do’a Nabi Musa AS ini diterima. Walaupun dalam kondisi yang sangat sulit, Nabi Musa AS nafikan keinginannya dan memutuskan untuk ikuti perintah Allah, keluar ke negeri jauh. Tidak ada musyawarah dengan istri, bahkan ia meninggalkan istri dalam keadaan sakit. Jadi apa yang dikorbankan Nabi Musa ketika itu, ada 3 perkara :
Mal atau Harta     : Berupa domba-dombanya dan tempat tinggalnya
Hal atau Keadaan : Tanggung jawab kepada istri yang sedang sakit
Al atau Keluarga   : Istri yang dicintai
Inilah Pengorbanan Nabi Musa AS demi perintah Allah, dia nafikan keadaannya dan hanya membenarkan perintah Allah. Hari ini kita logikan perintah Allah, sehingga kita mudah mengikuti Nafsu kita. Dikira kita ini yang menghidupkan dan memberi makan istri dan anak. Kita sering berkata : “Jaga anak dan istri kan perintah juga, nanti kalau sudah siap baru saya berangkat”. Siapnya kita ini adalah menurut Nafsu beda dengan siapnya Nabi Musa AS. Ini karena kita belum mengambil keputusan, sehingga perintah Allah ini belum bisa kita kerjakan secara sempurna.
Belajar dari Sahabat RA
Begitu juga pendidikan yang diterima oleh para Sahabat RA. Bagaimana Sahabat Abu Bakar RA tidak meninggalkan harta sedikit pun untuk keluarga ketika pergi di jalan Allah. Semua sahabat ketika takaza jihad atau dakwah dating, maka mereka meninggalkan semua perkara yang mereka cintai untuk memenuhi panggilan agama. Sehingga kita menemukan banyak makam sahabat di luar negeri seperti Sahabat Abi Waqqash RA di China, Sahabat Abu Ayub Al Anshari di Turki, dll. Kalau sahabat hanya memikirkan keluarga saja maka Islam tidak akan mungkin tersebar keseluruh dunia, dan kita mungkin masih menjadi penyembah berhala. Hari ini banyak orang yang marah sebab melihat mereka yang pergi meninggalkan keluarga untuk pergi di jalan Allah. Sedangkan hari ini kalau kita bicarakan orang yang meninggalkan anak istrinya demi kepentingan dunia tidak ada yang ambil pusing atau protes. Tetapi orang yang meninggalkan anak istrinya demi perbaikan agamanya banyak yang protes dan tidak terima.
Berapa banyak hari ini perempuan ( bukan laki-laki ) yang meninggalkan keluarganya untuk kerja di luar negeri? apa ada yang protes? berapa banyak keluarga yang ditinggal ayahnya atau suaminya ke luar negeri karena dinas atau belajar di universitas mengambil gelarnya? apakah ada yang tidak terima? padahal ini semua hanya demi kepentingan dunia saja. Sedangkan ketika di jalan Allah ini yang jamaah kerjakan adalah demi kepentingan agama, akherat, ummat, dan keluarganya. Dan lagi, segala hak atas keluarga dan kewajiban-kewajiban yang lainnya akan gugur jika dihadapkan dengan kepentingan Jihad buat agama atau pun buat mencari ilmu tatkala kondisi demikian menuntut. Ini karena Jihad dan menuntut ilmu ini lebih tinggi prioritasnya dibanding amal-amal lain. Seperti Nabi SAW dan para Sahabat RA yang meninggalkan keluarga mereka demi membela agama. Jadi Jihad ini harus didahulukan di atas segala kewajiban kecuali shalat. Hak istri, hak anak, hak bertetangga, semuanya gugur jika takaza (pembentangan kepentingan menyelamatkan agama) sudah ditawarkan. Jadi Jihad lebih utama dibanding amal-amal lain menurut kondisi atau keadaan-keadaan tertentu.
Kesalahfahaman III :
Banyak orang berkata, kalau mau jihad, memberi nafkah fakir miskin juga jihad, mencari uang untuk menafkahai keluarga juga jihad, membela hukum Islam juga jihad, membela yang orang yang dizhalimi juga jihad, kenapa harus susah-susah pergi di jalan Allah? Inilah anggapan mereka yang kurang pengetahuannya. Dalam ilmu agama, setiap keadaan itu ada amal-amal yang didahulukan atau diprioritaskan. Tidak mungkin ketika orang sedang berperang, ummat sedang terancam, kita lebih memilih duduk saja dirumah dan berdzikir dengan mengatakan dzikir itu jihad juga, lalu meninggalkan jihad membela agama Allah, ini namanya kebodohan. Dalam keadaan sekarang ketika kemaksiatan sudah merajalela dan penentangan terhadap perintah Allah sudah dilakukan secara terang-terangan, maka dengan adanya gerakan untuk keluar di jalan Allah dalam rangka memperbaiki diri dan menyampaikan agama, maka jihad yang seperti ini lebih tepat. Jihad yang seperti apa maksudnya? yaitu dengan harta dan diri meluangkan waktu untuk pergi di jalan Allah.
Nasehat dari orang tua dalam kerja dakwah ini :
“ Hari ini manusia sibuk membuat usaha yang tidak akan ditanya oleh Allah di pengadilan akherat nanti, yaitu perkara rizki, dan melupakan perkara yang pasti akan ditanya oleh Allah yaitu agama. Sebab ketidakpahaman kita hari ini, kita berani menjawab bahwa mencari rizki itu wajib dan memperjuangkan agama itu tidak wajib. Cari rizki itu wajib hukumnya. Betul itu, tetapi ini hanya keperluan, bukan sebagai maksud. Allah mengirim kita ke dunia ini bukan untuk berdagang, bertani, bermewah-mewahan, bersaing dalam teknologi, tetapi kita dikirim untuk Ibadah kepada Allah, menyempurnakan kehendak Allah atas diri kita di dunia ini. Mewujudkan agama dalam diri kita dan menyampaikan agama pada setiap orang di seluruh alam, inilah maksud Allah kirim kita kemuka bumi. Shalat itu wajib dan wudhu itu juga wajib, tetapi wudhu itu adalah untuk shalat. Apa yang terjadi jika orang maunya wudhu saja karena wajib, sehingga tidak shalat-shalat. Sudah mubazir airnya, dan Allah akan marah karena telah melupakan maksud yaitu shalat. Kita boleh berdagang, bertani, dan lain-lain, tetapi ini hanya keperluan saja, jangan sampai menjadi maksud. Kita pergi haji bukan untuk tidur-tiduran saja, tidur itu hanya keperluan, jangan sampai kita datang ke Makkah hanya untuk tidur saja tetapi melupakan maksudnya yaitu naik haji. Sahabat Ali Karamallah Wajhahu berkata kalau manusia itu fikirnya hanya memikirkan apa yang akan masuk ke dalam perutnya, maka derajatnya disisi Allah sama dengan apa yang dikeluarkan dari perutnya. Beginilah hasilnya jika manusia tidak diperjuangkan yaitu mereka akan menjadi rendah dan hina. Derajatnya di sisi Allah seperti apa yang dikeluarkan perutnya yaitu kotoran, tidak ada nilai, rendah, bahkan tidak pantas untuk dilihat atau dipandangi.”
Namun dalam rangka mempersiapkan istri kita dalam perjuangan agama, maka diperluakan beberapa kesiapan bagi istri agar dapat berjuang dengan benar. Satu hal yang harus dipahami oleh kaum wanita bahwa medan kerja mereka adalah di rumah-rumah mereka. Atas perkara ini fokus kita adalah mengupas dari pada kerja wanita di rumah dan apa yang membedakan mereka dengan wanita kafir bila keluar rumah.
Kisah Seorang wanita yang taat kepada suaminya
Ada seorang wanita bersuami, yang pada suatu hari mendengar kabar bahwa sang ayah sedang didera penyakit keras. Sang istri memohon kepada suaminya, agar bisa pergi mengunjungi sang ayah, namun tak juga mendapat ijin. Ketika sakit sang ayah semakin parah, namun sang istri belum juga mendapat ijin menengok, maka pergilah si wanita bertanya kepada Rasulullah SAW. Namun ternyata, berpegang pada pesan suami bahwasanya istrinya tidak boleh menengok sang ayah, Rasulullah SAW- pun tidak memperbolehkannya.
Akhirnya si wanita mendengar kabar bahwa bapaknya telah meninggal dunia, dan dia meminta ijin suaminya untuk bisa menghadiri majelis shalat jenazah dan pemakaman sang ayah. Lagi-lagi sang suami tidak mengijinkan. Si wanita pun kembali bertanya kepada Rasulullah SAW. Rasulullah menjawab :” Ukhti tak boleh keluar rumah, selagi tidak mendapat ijin dari suami.”
Keesokan harinya, Rasulullah SAW datang menyampaikan pesan kepada wanita itu, bahwasanya Allah SWT telah mengampuni dosanya dan dosa bapaknya, atas ketaatannya kepada sang suami.

No comments:

Post a Comment